Monday, January 29, 2018

Adab Pelajar Terhadap Pelajarannya

Adab al-Muta’allim fii Durusihi


Oleh: Samik bin Makki (Dosen UNESA dan Pembina Majelis Islam Kaffah)


Penulis memberi training PESAN BEKEN 
(PEmuda Sekolah Anti Narkoba yang BErprestasi, KrEatif dan SopaN)
di SMA Al Falah Surabaya


Selain adab pelajar terhadap dirinya sendiri dan adab terhadap gurunya, pelajar juga harus menghiasi dirinya dengan adab terhadap pelajarannya. Pelajar yang mengamalkan adab ini in syaa Allah akan lebih mendapatkan manfaat dan keberkahan terhadap pelajaran yang sedang dipelajarinya, serta lebih efektif dan efisien dalam mempelajarinya. Adapun adab-adab yang harus ia pegang dan laksanakan adalah sebagai berikut:


1. Memulai pelajaran dengan pelajaran-pelajaran yang sifatnya fardlu ‘ain seperti:

a. Hendaknya pelajar memperbaiki bacaan Al Qur’annya sebelum menghafalkannya, karena bacaan yang salah akan berdampak pada kesalahan arti, pemahaman dan hafalannya, sehingga bisa menyimpang.


b. Mempelajari ilmu tauhid yaitu ilmu yang mempelajari tentang ke Esa-an Tuhan. Ilmu ini akan memperkokoh aqidah/keimanan pelajar sehingga ia mempunyai keyakinan bahwa Allah SWT adalah pencipta sekaligus pengatur, yang telah menciptakan dan memberi aturan pada semua ciptaanNya. Keyakinan yang kuat dan benar akan membuat sesorang bangkit, lebih terikat terhadap syari’at/aturan islam sehingga orang tersebut akan lebih semangat, optimis, dan ikhlas dalam melaksanakan aturannya. Selain ikhlas, syarat diterimanya suatu ibadah adalah sesuai dengan tuntunan syari’at islam, sehingga pelajar juga wajib mempelajari ilmu fiqh.


c. Mempelajari ilmu fiqh, ilmu yang membahas masalah-masalah syari’at islam yang bersifat praktis, dan digali dari dalil-dalil syara’ yang rinci. Ilmu ini mampu mengantarkan kepada pemiliknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beribadah yang benar, dimulai dari cara-cara bersuci, shalat, puasa, zakat, muamalah, nikah, adab,  dan lain-lain.


d. Ilmu tasawuf, ilmu yg mengajarkan jalan menuju kesempurnaan batin, menjelaskan tentang keadaan–keadaan, maqam, tingkatan, dan membahas tentang rayuan dan tipu daya nafsu  dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Orang yang mempelajari ilmu tasawuf bisa menghindari penyakit hati (seperti riya’, sombong dan lain-lain), lebih ikhlas dan nikmat dalam beribadah.


2. Setelah mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat fardlu ‘ain maka hendaklah dalam langkah selanjutnya ia mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir Al Qur’an seperti hadits, ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, bahasa arab (nahwu dan sharaf), dan lain-lain. al Qur’an merupakan kitab suci yang kandunagn isinya bersifat universal, oleh karenanya dibutuhkan alat untuk menafsiri isi Al qur’an tersebut yaitu Hadits. Imam Syafi’i berkata : “Barang siapa yang mampu mempelajari kitab hadits, maka ia akan memiliki hujjah yang sangat kuat”. Ia harus bersungguh-sungguh dalam memahami tafsir Al Qur’an dan beberapa ilmu yang lain, karena Al Qur’an merupakan sumber dari segala ilmu sekaligus induk dan ilmu yang paling penting. Hendaknya pelajar mampu menjaga Al qur’an dengan istiqamah membacanya dan menghafalkannya. Sebelum menghafalkan sesuatu hendaknya pelajar mentashihkan terlebih dahulu kepada guru untuk didengar dan diperbaiki. Setelah menghafalkan materi pelajaran, hendaklah diulangi sesering mungkin dan dijadikan kebiasaan yang dilakukan setiap hari.


3. Selain ilmu-ilmu di atas, pelajar yang bercita-cita menjadi ilmuwan/praktisi tertentu seharusnya memperkaya pengetahuannya dengan ilmu yang berkaitan dengan cita-citanya seperti ilmu kimia, fisika, biologi, teknik, kedokteran, hukum, ekonomi, dan lain-lain. Hendaknya pelajar memiliki cita-cita tinggi, menjadi muslim yang profesional, sukses dan mulia serta berkepribadian islam, ibaratnya kaki boleh dibumi tapi cita-cita menggelantung diangkasa, sehingga tidak boleh merasa cukup hanya memiliki ilmu yang sedikit, padahal ia masih mempunyai kesempatan yang cukup untuk mencari ilmu sebanyak-banyakanya.


4. Menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya untuk selalu belajar sebelum datangnya perkara yang bisa mencegah untuk menimba ilmu. Tokoh para tabi’in, Sa’id bin Jubair r.a. berkata; “Seseorang selalu mendapat sebutan orang yang alim bila ia selalu belajar, menambah ilmu. Namun apabila ia telah meninggalkan belajar dan menyangka bahwa dirinya adalah orang yang tidak membutuhkan terhadap ilmu (merasa pintar), maka sebenarnya ia adalah orang yang paling bodoh”. Waktu yang paling baik untuk belajar adalah permulaan masa-masa jadi pemuda, waktu sahur berpuasa dan waktu di antara magrib dan isya'. Tetapi sebaiknya menggunakan seluruh waktu yang ada untuk belajar. Muhammad Ibnul Hasan semalam tanpa tidur, selalu bersebelahan dengan buku-bukunya, dan bila telah merasa bosan suatu ilmu, berpindah ilmu yang lain. Iapun menyediakan air penolak tidur di sampingnya, dan ujarnya: "Tidur itu dari panas api, yang harus dihapuskan dengan air dingin". Apabila Ibnu Abbas telah bosan mempelajari Ilmu Kalam, maka katanya: "Ambillah kitab para penyair?".


5. Pada setiap materi pelajaran semestinya pelajar harus berpegang teguh pada guru yang ahli dibidangnya, bisa memberikan pengajaran, pendidikan yang baik terhadap materi tersebut dan lebih mengutamakan praktek. Hindari pikiran bahwa dirinya penuh kesempurnaan, tidak membutuhkan petunjuk-petunjuk guru dalam mempelajari ilmu, karena hal itu merupakan hakekat dari kebodohan dan kesombongan.


6. Bagi pelajar pemula, hendaknya menghindari pembahasan mengenai hal-hal yang masih  terdapat perbedaan pandangan (khilafiah) di antara para ulama’  baik yang berhubungan masalah-masalah pemikiran, metode, atau masalah rumit lainnya. Hal ini karena dapat membingungkannya, jenuh, dan tidak tenang. Bahkan sejak awal ia harus berpegang pada hanya satu kitab saja dalam satu materi pelajaran tertentu, menghindarkan diri mempelajari berbagai macam buku karena hal itu bisa menyia-nyiakan waktunya dan tidak bisa fokus pada satu pelajaran bahkan ia harus memberikan seluruh kitab-kitab dan pelajaran yang ia ambil kepada gurunya untuk dilihat sampai dimana kemampuan pelajarnya sehingga guru bisa memberikan bimbingan dan arahan sampai pelajar yakin dan mampu dalam menguasai palajarannya. Namun apabila pelajar sudah mempunyai dasar, latar belakang kemampuan yang sudah memadai maka dia bisa menggunakan beberapa buku  untuk meningkatkan kemampuan yang ia miliki.


7. Hendaklah mempelajari secara komprehensif masalah-masalah yang rumit setelah dapat mengkaji dan menguasai masalah-masalah yang sederhana. Ketika pelajar telah mampu menjelaskan terhadap apa yang ia hafalkan walaupun masih dalam tahap ikhtishar dan bisa menguraikan kesulitan yang ada dan faidah-faidah yang sangat penting, maka ia diperbolehkan pindah untuk membahas kitab-kitab besar serta tiada henti, terus menerus menelaah tanpa mengenal rasa lelah.


8. Hendaknya pelajar berangkat lebih awal dalam rangka untuk mencari ilmu, rutin mengikuti kajian/diskusi dengan gurunya dalam setiap pelajaran, tidak boleh absen kecuali karena alasan syarie. Jika memungkinkan, sebaiknya ia membaca/mempelajari materi yang akan diterimanya. sehingga ia akan lebih siap menerima materi, lebih faham, mendapat kebaikan, menghasilkan sesuatu yang ia cita-citakan, serta memdapatkan keutamaan dan kemuliaan. Selain persiapan materi, ia juga seharusnya mempersiapkan buku dan alat tulis sehingga ketika proses belajar mengajar bisa mencatat, memberi keterangan, memperbaiki dan membenerkan hal-hal yang perlu diperbaiki baik dari segi bahasa, konsep, contoh dan lain-lain.


9. Ketika hadir dalam majelis ilmu, pelajar harus bersungguh-sungguh dalam setiap pelajaran yang diterangkan oleh gurunya, dengan tekun, konsentrasi dan penuh perhatian, apabila hal itu bisa ia lakukan dan hatinya tidak merasa keberatan, dan selalu mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya sehingga setiap pelajaran yang telah disampaikan oleh gurunya ia kuasai dengan baik. Apabila ia tidak mampu untuk menguasai secara keseluruhan, maka hendaknya ia memprioritaskan pelajaran yang lebih penting terlebih dahulu kemudian baru pelajaran yang lain.


10. Selain bersungguh-sungguh, pelajar juga harus sopan santun, menjaga adab majelis seperti mengucapkan salam kepada seluruh peserta yang telah hadir dengan suara yang bisa mereka dengar dengan jelas, apalagi terhadap gurunya dengan memberikan salam penghormatan yang lebih tinggi dan memuliakannya. Ia tidak diperkenankan melewati orang–orang yang ada di tempat tersebut untuk mendekat pada guru, kecuali apabila guru atau peserta yang lain memintannya untuk maju. Pelajar tidak boleh berdesak-desakan jika masih ada tempat kosong, tidak boleh duduk diantara dua orang yang bersahabat kecuali mereka merelakannya, dan tidak boleh duduk di atas orang yang lebih mulia di bandingkan dengan dia sendiri. Menjaga kesopanan duduk dihadapan guru dan juga harus memperhatikan kebiasaan, tradisi yang selama ini dipakai, diterapkan oleh guru dalam mengajar.


11. Pelajar hendaknya tidak boleh malu menanyakan sebuah persoalan yang belum ia fahami dengan baik dan benar dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan santun. Hendaknya ia juga tidak malu mengucapkan seperti ini:  “Aku belum faham”, apabila ia ditanya  oleh gurunya , apakah engkau faham? sedangkan ia sendiri belum faham. Ketika Abu Yusuf ditanyakan: "Dengan apakah tuan memperoleh ilmu? beliau menjawab: "Saya tidak merasa malu belajar dan tidak kikir mengajar". Ketika ditanyakan kepada Ibnu Abbas ra: "dengan apakah tuan mendapat ilmu?" beliau menjawab : "Dengan lisan banyak bertanya dan hati selalu berpikir". Mujahid ra. berkata : “Orang yang mempunyai sifat malu bertanya dan orang yang sombong  tidak akan bisa mempelajari ilmu”. Pelajar tidak boleh mennyakan sesuatu yang bukan pada tempatanya, kecuali karena ia membutuhkannya  atau ia mengerti dengan memberikan solusi kepada gurunya untuk bertanya. Apabila guru tidak menjawab, maka hendaknya ia jangan memaksannya, namun apabila belaiu menjawab dan kebetulan salah,  maka santri tidak boleh membantahnya seketika.


12. Pelajar harus antri dengan tertib, tidak mendahului peserta yang lain kecuaili apabila ia mengizinkannya, bila dalam belajar menggunakan sistem Sorogan (metode belajar dengan maju satu persatu dan langsung disimak dan  diperhatikan oleh ustadznya). Suatu ketika ada seorang lelaki dari sahabat anshar menjumpai rasulullah, sambil bertanya mengenai sesuatu, setelah itu datang lagi seorang laki-laki dari Bani Tsaqib kepada beliau, juga bertujuan yang sama, menanyakan sesuatu kepada beliau, kemudian nabi Muhammad SAW menjawab : “Wahai saudaraku dari Bani Tsaqif, duduklah! Aku akan memulai mengatakan sesuatu yang dibutuhkan oleh sahabat Anshar tadi, sebelum kedatanganmu”. Al Khatib berkata “Bagi orang-ornag yang datangnya lebih dulu disunnahkan untuk mendahulukan orang yang jauh dari pada dirinya sendiri, karena untuk menghormatinya. Begitu juga bagi orang yang datang belakangan apabila mempunyai kebutuhan, keperluan yang sifatnya wajib dan orang yang lebih awal mengerti akan keadaanya maka hendaknya ia didahulukan, diutamakan. Atau guru memberikan sebuah isyarat untuk mengutamakannya karena adanya kemaslahatan, kebaikan yang tersembunyi di dalamnya maka ia disunnahkan untuk diutamakan. Mendapat giliran lebih awal sebenarnya bisa diperoleh dengan cara datang lebih awal pada majelis. Hak yang dimiliki oleh seseorang tidak akan pernah gugur sebab perginya orang tersebut  karena sesuatu yang bersifat darurat, misalnya menunaikan hajat, memperbarui wudu’ dengan ketentuan apabila ia kembali pada tempat semula. Apabila ada dua orang yang saling mendahului atau saling rebutan tempat, maka hendaknya keduanya di undi, atau guru yang menentukan mana yang lebih dulu berhak menempatinya.


13. Pelajar hendaknya membawa buku bacaan dan buku tulisnya serta membantu membawakan buku gurunya dengan kedua tangannya, tidak boleh meletakkan buku gurunya dalam keadaan terbuka, tidak diperbolehkan membaca buku gurunya kecuali atas izin beliau. Apabila gurunya memberikan izin, maka ia  sebelum membaca kitab dan sebelum belajar hendaknya membaca, taawwudz, basmalah, hamdalah, sholawat kepada nabi saw, keluarganya, para sahabatnya, kemudian mendoakan kepada gurunya, orang tua para gurunya, dirinya sendiri, kaum muslimin semuanya serta memintakan rahmat kepada allah untuk pengarang kitab.Apabila selesai belajar, hendaknya ia juga mendoakan gurunya. Apabila pelajar tidak memulai dengan hal-hal tersebut, baik karena lupa /yang lain, maka hendaknya guru mengingatkan dan mengajarinya, karena hal itu termasuk etika, akhlak yang paling penting. Salah satu cara untuk memperkuat hafalan yaitu ketika mengambil buku berdo'a:


بسم الله وسبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله، والله اكبر، لا حول ولا قوة إلا بالله العلى العظيم العزيز العليم،

 عدد كل حرف كتب ويكتب أبد الآبدين ودهر الداهرين.
Bimillahi wasubhanallohi walhamdulillahi wala illaha illallohu wallohu akbar wala haula wala kuwwata illa billahil a'liyyil a'zhimil a'jijil a'limi a'dada kulli harfin kutiba wayuktabu abadal abidina wadahroddahirina.

Artinya: Dengan menyebut nama Allah, Maha suci Allah, segal puji milik Allah dan tiada tuhan selain Allah yang Maha Agung, tiada daya dan kekuatan selain atas pertolongan Allah Yang Maha Mulya, Agung, Luhur, Lagi Mah Mengetahui, sebanyak huruf yang tertulis dan akan di tulis, berabad-abad dan sepanjang masa.

Setiap selesai menulis berdo'a :



آمنت بالله الواحد الأحد الحق، وحده لا شريك له، وكفرت بما سواه


Amantu billahil wahidi wahdahu lasyarika lahu wakapartu bima siwahu.


Artinya: Aku beriman kepada Allah Yang Tunggal, Maha Esa, berkesendirian tiada teman dalam ketuhannaNya, dan saya hindari dari bertuhan kepad selainNya.


14. Menekuni pelajaran dengan optimal, tidak berpindah pada pelajaran yang lain sebelaum pelajaran yang pertama bisa difahami dengan baik, tidak boleh pindah baik dari negara ke negara yang lain, atau dari satu madrsah kemadrasah yang lainkecuali sudah faham, darurat dan ada keperluan yang sangat mendesak,. Karena hal itu akan menimbulkan berbagai macam persoalan, membuat hati menjadi resah dan menyia-nyiakan waktu dengan percuma tampa ada hasilnya.


15. Selalu mengingat-ingat (mudzakarah) setiap pelajarandari gurunya, berupa manfaat, qaidah, definisi, batasan, contoh dan lain sebagainya, karena mengingat–ingat mempunyai manfaat yang sangat besar. Khataib Al Baghdadi telah berkata: “Bahwa mudzakarah, mengingat pelajaran yang paling baik adalah dilakukan pada waktu malam hari. Sekelompok jama’ah rombongan dari ulama’ salaf  mereka memulai mudzakarah mulai setelah isya’, mereka tidak beranjak dari tempat mudzakarah tersebut selama belum berkumandang adzan subuh, apabila santri tidak menemukan teman yang bisa untuk diajak mudzakarah, maka hendaknya ia melakukannya sendiri, ia mengulangi setiap kata yang ia dengar dalam hatinya supaya menancap dan membekas dalam lubuk hatinya. Mengulangi kata dalam hati itu sama dengan mengulangi kata pada lisan. Gunakan akal untuk berfikir baik ketika mengulangi atau ketika dihadapan gurunya, biasakan diri untuk menggunakan kekuatan otak yang dimiliki.


16. Hendaknya pelajar bertawakkal kepada Allah, tidak menyibukkan dirinya dengan masalah rizki, permusuhan dan bertentangan dengan seseorang, menjauhkan diri dari pergaulan orang-orang yang ahli maksiat dan pengangguran. Karena dapat menimbulkan dampak yang negatif.


17. Ketika sedang belajar hendaknya menghadap kiblat, banyak mengamalkan, melakukan tradisi-tradisi rasululah SAW,  mengikuti ajakan ahli kebaikan, menjauhkan diri dari doanya orang yang dianiaya (madzlum), dan memperbanyak shalat dengan segala kekhusukan.


18. Bersemangat dalam menggapai kesuksesan dengan diwujudkan pada kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat serta berpaling dari kegiatan negatif dan sia-sia.Selain mampu memotivasi dirinya sendiri, pelajar juga sebaiknya memotivasi teman-temannya untuk senantiasa antusias dalam menggapai ilmu yang bermanfaat


19. Hasil-hasil pendidikanya tidak hanya sebagai suatu nasehat dan peringatan yang berharga pada dirinya, tetapi pelajar juga harus mampu mengamalkan dan menyebarkan ilmunya sehingga ilmu itu bisa membawa berkah, manfaat dan bersinar serta mendapat pahala yang luar biasa.Bagi orang-orang yang tidak mampu mengamalkan berarti ia tidak memiliki ilmu yang mumpuni, kalaupun toh memilki ilmu, maka ilmunya kurang bermanfaat.


20. Ilmu yang dimilikinya tidak membuat dirinya menjadi sombong. Pelajar wajib bersyukur kepada Allah SWT, selalu mangharapkan tambahan ilmu dari-Nya dengan cara mensyukuri secara terus menerus, berakhlakul karimah, serta menjaga diri dari hak-hak yang dimilki oleh teman, saudara, baik seagama atau seaktifitas. Berusaha melupakan dan menutupi kejelekan mereka, memaafkan segala kekeliruan dan mensyukuri terhadap terhadap orang-orang yang berbuat bagus. Imam Abu Hanifah berkata: "Kudapatkan ilmu dengan bersyukur dan memuji Allah. Tiap-tiap berhasil kufahami fiqh dan hikmah selalu saja kuucapkan Alhamdulillah. Dengan cara itu, jadi berkembanglah ilmuku."

Referensi:
Syaikh Az-Zarnuji, Ta'limul Muta'alim Thariqatta'allum
Kyai Hasyim Asy’ari, Adab al-Alim Wa al-Muta’allim.
Ibnu Jamâ’ah, Tadzkirah al-Sâmi’ wa al-Mutakkalim fî Adab al-‘Ilm wa al-Muta’allim

Thursday, January 18, 2018

KEPALA DAERAH DALAM TIMBANGAN SYARIAH

Buletin Kaffah no. 24, 2 Jumadul Awal 1439 H – 19 Januari 2018 M

Islam adalah agama yang paripurna (QS al-Maidah [5]: 3). Tidak ada satu pun perkara  dalam kehidupan manusia kecuali ada aturan, hukum dan penyelesaiannya di dalam Islam (Lihat: QS an-Nahl [16]: 89).

Rasul saw. pun telah menjelaskan tuntunan, hukum dan solusi Islam atas berbagai perkara. Tentu semua itu bersumber dari wahyu-Nya. Karena itu Allah SWT memerintahkan kita untuk meneladani beliau:

﴿لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴾
Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat serta banyak mengingat Allah (TQS al-Ahzab [33]: 21).


Menurut Imam Syaukani dalam Fathu al-Qadîr, ayat ini bersifat umum/mencakup semua perkara. Karena itu setiap Mukmin hendaknya meneladani Rasul saw. itu dalam semua perkara baik terkait akidah, ibadah, akhlak, maupun politik, termasuk dalam hal kepemimpinan daerah.


Kriteria Kepala Daerah Menurut Rasulullah saw.

Rasul saw. adalah kepala Negara Islam di Madinah. Beliau banyak memilih dan mengangkat pemimpin atau kepala daerah. Beliau pun menjelaskan kriteria pemimpin/pejabat, termasuk tentu kepala daerah. Salah satunya, pemimpin dan pejabat harus dipilih berdasarkan kelayakan, kapasitas dan keamanahannya. Sabda beliau:

« إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ » . قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ « إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »
“Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran.” Seorang Arab baduwi berkata, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah saat-saat kehancuran.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).


Imam al-Munawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan, “Jika suatu urusan—yakni hukum/pemerintahan yang berkaitan dengan agama seperti Khilafah dan yang terkait baik kepemimpinan, peradilan, fatwa, pengajaran dan yang lainnya—dipercayakan kepada selain ahlinya, yaitu kepada orang yang tidak layak untuk posisi atau tugas itu.”

Rasul saw. memperingatkan, jika urusan itu dipercayakan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak layak) maka akan terjadi kerusakan.  Itu berarti menyia-nyiakan amanah.

Jabatan hendaknya tidak diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi apalagi terobsesi dengan jabatan itu. Abu Musa al-Asy’ari menuturkan, ketika ada orang meminta jabatan kepada Rasul saw., beliau menolaknya dan beliau menunjuk orang lain. Beliau bersabda ketika itu:

« إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ »
Demi Allah, kami tidak mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan tidak pula seorang pun yang berambisi terhadapnya  (HR Muslim dan Ibnu Hibban).


Peringatan Rasul saw. itu seharusnya benar-benar disadari oleh umat saat ini. Saat ini banyak orang berambisi menjadi kepala daerah. Lalu mereka dipilih sebagai calon kepala daerah bukan atas dasar keahlian, kelayakan dan keamanahan. Pertama-tama pemilihan mereka ditentukan oleh seberapa banyak uang atau modal yang mereka miliki untuk pencalonan. Pasalnya, dalam sistem politik demokrasi berbiaya tinggi saat ini, untuk menjadi pemimpin daerah, biaya yang dikeluarkan mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah (bahkan bisa tembus 1 triliun rupiah untuk daerah tertentu). Dampaknya telah nyata dan dirasakan oleh masyarakat. Banyak pemimpin daerah dan pejabat akhirnya melakukan korupsi, memperdagangkan jabatan dan kebijakan dan berkolusi dengan para kapitalis. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak sering terabaikan. Akhirnya, beban hidup rakyat pun makin berat dari hari ke hari.


Kepala Daerah Diangkat dan Diberhentikan oleh Kepala Negara

Sebagai kepala negara, Rasul saw. telah mencontohkan pengangkatan pemimpin daerah. Hal yang sama dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dan telah menjadi Ijmak Sahabat. Berdasarkan Sunnah Rasul saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, wali (gubernur) dan ‘âmil (setingkat bupati/walikota) ditunjuk dan diangkat oleh Rasul saw. sebagai kepala negara atau oleh khalifah sesudah beliau. Jadi, kepala daerah tidak dipilih baik langsung oleh rakyat atau oleh wakil mereka.

Data para wali dan ‘âmil Rasul saw. itu di antaranya dihimpun oleh Ibnu Hazm dalam Jawâmi’ as-Sirah (hlm. 23-24); Muhammad bin Habib al-Baghdadi dalam Al-Mukhbir (hlm. 125-128); Ibnu al-Qayyim dalam Zâd al-Ma’âd; ‘Izzuddin bin Jamaah al-Katani dalam Al-Mukhtashar al-Kabîr; dan Abdu al-Hayyi al-Kattani dalam At-Taratib al-Idâriyah (1/240).

Pada masa Khulafaur Rasyidin, wali dan ‘âmil juga ditunjuk dan diangkat oleh Khalifah. Ini merupakan Ijmak Sahabat sebab seluruh sahabat mengetahuinya dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.

Perlu diingat, hal mendasar dari kepemimpinan daerah bukan apakah pemimpin daerah itu dipilih rakyat atau tidak. Yang mendasar adalah pengaturan dan pemeliharaan berbagai urusan, kepentingan dan kemaslahatan rakyat benar-benar terwujud. Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah  (hlm. 3) menyatakan, “Sungguh Allah Yang Mahatinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan kenabian, melindungi agama dan mendelegasikan kepada dirinya as-siyâsah (pemeliharaan urusan umat) agar pengaturan itu bersumber dari agama yang masyru’, dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi fondasi kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.”

Sebagaimana kepala daerah diangkat oleh kepala negara, maka pemberhentian mereka juga dilakukan oleh kepala negara. Para wali dan ‘âmil bisa diberhentikan baik karena ada sebab pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, ketidakmampuan atau karena faktor lainnya. Bisa juga mereka diberhentikan tanpa sebab dan kesalahan tertentu. Rasul saw. pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan wali Yaman tanpa sebab. Khalifah Umar ra. juga pernah memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan tanpa sebab tertentu.

Dengan itu masyarakat dan pejabat akan paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa dan pemangku jabatan itu bisa diberhentikan kapan saja. Dengan itu pula jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan dan orang pun tidak akan berlomba-lomba mengejar jabatan tersebut.

Penduduk wilayah (propinsi) atau ‘umalah (kabupaten/kota) atau para wakil mereka di Majelis Wilayah atau Majelis Umat boleh menampakkan ketidakridhaan atau mengajukan syakwa (aduan) atas kepala daerah mereka. Semata-mata adanya ketidakridhaan atau syakwa itu, Khalifah harus memberhentikan mereka. Khalifah Umar bin Khathab ra. pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash semata-mata karena masyarakat mengadukan dirinya. Khalifah Umar berkata tentang itu, “Saya tidak memberhentikan dia karena tidak mampu atau karena pengkhianatan.”

Ibnu Saad di dalam Ath-Thabaqât al-Kubrâ (iv/360-361) meriwayatkan dari Muhammad bin Umar: Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada Al-‘Ala’ bin al-Hadhrami agar menghadap bersama 20 orang dari Abdul Qays.  Ia pun menghadap bersama 20 orang dari mereka yang dipimpin oleh Abdullah bin ‘Auf al-Asyaj. Al-‘Ala’ menunjuk pelaksana atas Bahrain al-Mundzir bin Sawa. Delegasi itu menngadukan Al-‘Ala’ bin al-Hadhrami. Lalu Rasulullah saw. pun memberhentikan dirinya dan mengangkat Aban bin Said bin al-‘Ash.  Beliau berkata kepada dia, “Mintalah nasihat kebaikan kepada Abdul Qays dan hormatilah para tokoh mereka.”

Dari sini diambil ketentuan, jika kebanyakan rakyat atau wakil mereka di Majelis Wilayah atau Majelis Umat menampakkan ketidakridhaan mereka atas wali atau ‘âmil di daerahnya, maka kepala negara/khalifah wajib memberhentikan dirinya dan mengangkat kepala daerah yang baru.


Beberapa Keuntungan

Karena kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara maka: Pertama, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sangat efektif dan efisien, berbiaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Problem politik biaya tinggi—sebagaimana dalam sistem demokrasi—dengan berbagai dampaknya tidak akan terjadi. Triliuan uang rakyat tidak akan tersedot untuk pemilihan kepala daerah dan bisa dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua, akuntabilitas pemimpin daerah akan terjamin.  Pemimpin daerah bisa diberhentikan segera jika melakukan pelanggaran atau kezaliman, bahkan tanpa kesalahan sekalipun, termasuk demi penyegaran dan peningkatan kinerja. Program pemerintah akan berjalan efektif. Keterpaduan dan keharmonisan pemerintah pusat dan daerah bisa terwujud.

Ketiga, partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap pemimpin daerah akan mudah. Pada proses awal, rakyat dan wakil mereka bisa memberikan masukan terkait sosok pemimpin daerah yang mereka inginkan. Kepala negara (Khalifah) akan sangat terdorong memenuhi aspirasi itu.  Pasalnya, jika rakyat atau wakil mereka menampakkan ketidakridhaan atas pemimpin daerah, Khalifah harus memberhentikannya.  Partisipasi rakyat dalam mengontrol kepala daerah akan bangkit.


Khatimah

Begitulah kepala daerah dalam timbangan syariah Islam. Ketika tuntunan Islam dalam pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah itu diterapkan, tentu dalam kerangka sistem pemerintahan Islam (yakni sistem Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah), maka  kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan terpelihara, cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran akan bisa terwujud serta keberkahan akan digelontorkan oleh Allah SWT dari langit dan bumi atas penduduk negeri, tentu selama mereka menerapkan syariah-Nya secara kâffah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []



Hikmah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta mengkhianati amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu (TQS al-Anfal [8]: 27).

Adab Seorang Pelajar Terhadap Pengajarnya (Adab al-Muta’allim fii Nafsihi Ma’a Syaikhihi)

Oleh: Samik bin Makki (Dosen UNESA dan Pembina Majelis Islam Kaffah)

 Foto Penulis dengan guru penulis dan ulama lainnya

Sebaiknya ilmu tidak diambil dari kitab secara langsung, tetapi harus lewat guru yang memantapkan kebenaran ilmu tersebut, agar aman dari kesalahan, miskonsepsi, kesesatan, dan penyalahgunaan. Oleh karena itu seorang pelajar harus mempunyai adab terhadap gurunya. Adapun adab-adab pelajar terhadap pengajarnya adalah sebagai berikut:

1. Berfikir yang mendalam kemudian meminta petunjuk kepada Allah dengan shalat istikharah dan berdoa dalam memilih pengajar/guru yang berkualitas. Jika memungkinkan seorang pelajar, hendaklah memilih guru yang sesuai dalam bidangnya, lebih alim, mempunyai sifat kasih sayang, menjaga muru’ah (etika), menginspirasi pada kebaikan, menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan mertabat seorang guru, dan tidak mendukung kemaksiatan (seperti pro LGBT dan lain-lain).

2. Bersungguh-sungguh dalam mencari seorang guru yang memahami islam secara kaffah, memperjuangkan penerapan islam, dipercaya oleh guru-guru pada zamanya, sering diskusi serta lama dalam perkumpulan diskusinya, bukan termasuk orang-orang yang mengambil ilmu berdasarkan makna yang tersurat dalam sebuah teks saja. Imam Syafi’i berkata: “Barang siapa yang mempelajari ilmu fiqh hanya memahami makna–makna yang tersurat saja, maka ia telah menyia-nyiakan beberapa hukum”.

3. Mentaati perintah, nasehat, dan aturan-aturan gurunya (asalkan tidak melanggar aturan islam), sebagaimana taatnya pasien terhadap dokter spesialisnya. Sehingga ia minta resep sesuai dengan anjurannya dan selalu berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh ridhanya terhadap apa yang ia lakukan.

4. Menghormati gurunya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara melayaninya. Hendaknya seorang pelajar tahu bahwa merendahkan diri di hadapan gurunya merupakan kemuliaan, kertundukannya kepada gurunya merupakan kebanggaan dan tawadlu’ dihadapannya merupakan keterangkatan derajatnya. Maka bagi pelajar jangan memanggil guru dengan menggunakan ta’ khitab (baca: kamu) dan kaf khitab (mu), ia juga jangan memanggil dengan namanya. Bahkan ia harus memanggil dengan: ” yaa sayyidi” , wahai tuanku atau “yaa ustadzi”, wahai guruku. Juga ketika seorang guru tidak berada di tempat, maka pelajar tidak diperkenankan memanggil dengan sebutan namanya kecuali apabila nama tersebut disertai dengan sebutan yang memberikan pengertian tentang keagungan seorang guru, seperti apa yang di ucapkan pelajar:”Al Syekh Al Ustadz berkata begini “atau “guru kami berkata” dan lain sebagainya. Salah satu contoh penghormatan murid terhadap gurunya adalah ketika Imam Syafi’i membuka buku pelajarannya secara perlahan-lahan tanpa terdengar suara lembaran kertas karena sangat menghormati gurunya (Imam Malik) dan agar tidak mengganggu konsentrasi gurunya dalam melangsungkan pengajarannya. Bahkan diantara ulama salaf, ada yang bersedekah terlebih dahulu sebelum berangkat ke majelis gurunya seraya berdoa, “Ya Allah, tutupilah aib guruku dan janganlah engkau halangi keberkahan ilmunya untukku.”

5. Memandang guru dengan pandangan yang mulia dan meyakini bahwa gurunya mempunyai derajat yang tinggi. Karena pandangan seperti itu paling dekat kepada kemanfaatan ilmunya. Abu Yusuf berkata: “Aku mendengar para ulama’ salaf berkata: “Barang siapa yang tidak mempunyai sebuah keyakinan tentang kemuliaan gurunya, maka ia tidak akan bahagia.

6. Melaksanakan kewajibannya kepada gurunya, tidak pernahmelupakan jasa-jasanya, selalu mendoakannya baik ketika beliau masih  hidup atau setelah meniggal dunia. Menghormati keluarganya dan orang-orang yang dicintainya. Pelajar harus selalu menampakkan budi pekerti yang bagus dan memberikan petunjuk kepada orang lain yang membutuhkannya/menyebarkan ilmu yang diberi gurunya, selalu tunduk dan patuh kepadanya dalam keadaan apapun dan dimanapun ia berada.

7. Bersabar, berlapang dada, dan tidak berburuk sangka, tatkala hati seorang guru sedang gundah gulana, marah, murka  atau budi pekerti, prilaku beliau yang kurang baik. Apabila seorang guru berbuat kasar kepadanya, maka yang perlu dilakukan pertamakali adalah dengan cara meminta maaf kepada guru dan menampakkan rasa penyesalan diri.

8. Menunjukkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada gurunya yang telah mengajari, mengasuh, dan membinanya.

9. Meminta izin terlebih dahulu jika hendak mengunjungi gurunya, duduk di majelisnya, memasuki ruang pribadinya, baik ketika beliau sedang sendirian ataupun saat ia bersama orang lain.

10. Duduk dihadapan gurunya dengan budi pekerti yang baik, dengan rasa tawadlu’, rendah diri, tenang dan khusu’. Jika duduk dilantai seperti duduk bersimpuh diatas kedua lututnya (seperti duduk pada tahiyat awal/akhir) atau duduk bersila. Sebisa mungkin mengambil posisi terdekat dengan guru. Termasuk sebagaian dari mengagungkan gurunya adalah pelajar tidak boleh duduk-duduk disampingnya, di atas tempat shalatnya, di atas tempat tidurnya. Seandainya sang guru memerintahkan hal itu kepada muridnya, maka jangan ia sampai melakukannya, kecuali apabila sang guru memaksanya dan tidak mungkin untukmenolaknya, maka dalam keadaan seperti ini baru diperbolehkan. Namun setelah itu ia harus berprilaku sebagaimana biasanya, yaitu dengan menjunjung tinggi akhlaqul karimah.

11. Menghadap kearah gurunya dengan sempurna sambil melihat dan mendengarkan dengan penuh perhatian, selanjutnya ia harus berfikir secara komprehensif apa yang beliau sampaikan sehingga gurunya tidak perlu lagi untuk mengulagi perkataannya untuk yang kedua kalinya. Pelajar tidak diperkenankan untuk melihat kearah kanan, arah kiri atau melihat kearah atas kecuali dalam keadaan darurat, apalagi gurunya sedang membahas, berdiskusi tentang berbagai macam persoalan.

12. Tidak sok tahu, meskipun apa yang disampaikan guru itu sudah diketahui/dihafalkannya. Pelajar tetap mendengarkannya dengan penuh antusias, seakan-akan dirinya belum pernah mendengarkan pembahasan tersebut.

13. Tidak boleh mendahului gurunya dalam menjelaskan sebuah permasalahan atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh siswa lain, kecuali ia mendapai izin dari sang guru.

14. Berkomunikasi dan berperilaku yang santun dan lemah lembut di hadapan guru. Pelajar tidak diperkenankan untuk menceritakan sesuatu yang lucu sehingga memecahkan konsentrasi belajar dan menimbulkan tertawa orang lain. Apabila ada sesuatu hal, peristiwa, kejadian yang lucu, sehingga membuat tertawa, maka hendaknya jikalau tertawa tidak terlalu keras, tidak mengeluarkan suara.  Tidak boleh menampakkan prilaku yang kurang baik dihadapan gurunya, ada unsur penghinaan kepada sang guru, atau berbicara dengan menggunakan kata-kata yang jelek.

15. Menerima atau memberi sesuatu kepada guru dengan tangan kanan kemudian memegangnya dengan kedua belah tangan. Tidak boleh memberikan sesuatu kepadanya dari arah samping atau belakang,

16. Tidak boleh membuat kegaduhan, mempermainkan ujung bajunya, membuka lengan bajunya sampai kedua sikutnya, mempermainkan beberapa anggota tubuhnya, kedua tangan, kedua kaki atau yang lainya, membuka mulutnya, menggerak-gerakkan giginya, memukul tanah atau yang lainya dengan menggunakan telapak tanganya atau jari-jari tanganya, mensela-selai kedua tangannya dan tidak boleh bermain-main mengunakan pena dan sebagainya.

17. Pelajar ketika berada dihadapan gurunya maka ia tidak boleh mengagumi sesuatu (seperti orang lain) ketika ia berada dihadapan gurunya, tidak boleh menyandarkan dirinya ketembok, ke bantal, tidak boleh berpegangan pada sesuatu yang berada diselakangnya atau sampingnya, tidak boleh membuang ludah secara langsung (sebaiknya dilakukan dengan menggunakan sapu tangan), mendehem selama hal itu bisa ditahan atau memungkinkan, namun apabila tidak mungkin untuk dilakukan maka seyogianya ia melakukannya dengan santun. Apabila pelajar sedang bersin, maka hendaknya berusaha untuk memelankan sauranya dan menutupi wajahnya dengan menggunakan sapu tangan umpamanya. Apabila  ia membuka mulut karena menahan rasa kantuk (angop) maka hendaknya ia menutup mulutnya dan berusaha untuk tidak membuka mulut (angop).

18. Pelajar ketika sedang berada dalam sebuah pertemuan/majelis, dihadapan teman, saudara atau orang lain hendaknya berbudi pekerti yang baik, karena menampakkan budi pekerti yang baik kepada mereka, berarti ia telah menghormati gurunya dan menghormati majelis tersebut. Tidak boleh berbicara ketika sedang berlangsung pembahasan sebuah ilmu dengan  hal-hal yang tidak mempunyai hubungan dengan kegiatan ilmu tersebut, atau mengucapkan sesuatu yang bisa memutus pembahasan ilmu.

19. Apabila pelajar yang lain berbuat hal-hal yang tidak kita inginkan (jelek) terhadap salah seorang pelajar lainnya juga, maka ia tidak boleh dimarahi, disentak-sentak, kecuali gurunya sendiri yang melakukan hal itu, kecuali kalau guru memberikan sebuah isyarat kepada pelajar yang lain utnuk melakukannya.

20. Pelajar senantiasa menjaga keamanan dan kenyamanan gurunya. Apabila ada seseorang yang melakukan hal-hal yang negatif terhadap gurunya, maka kewajiban bagi pelajar menghalangi orang tersebut dan tidak menerima orang tersebut dan membantu gurunya dengan kekauatan yang dimiliki.

21. Tidak boleh menggangunya seperti menguji guru terhadap kemampuan ilmu dan hafalannya. Apabila ingin berpindah atau belajar kepada guru yang lain maka minta izinlah kepadanya, hal itu lebih mendorong untuk menghormatinya dan membuat dia lebih mencintaimu. Guru yang baik akan mendorong muridnya terus belajar dan berguru ke yang lain supaya muridnya bisa  lebih baik darinya.

Semoga adab-adab ini dapat kita laksanakan. Mari kita sebarkan tulisan ini sehingga banyak orang yang dapat melaksankannya. Semoga amal ibadah kita diridhoi Allah. Aamiiin.

Referensi:
Syaikh Az-Zarnuji, Ta'limul Muta'alim Thariqatta'allum
Kyai Hasyim Asy’ari, Adab al-Alim Wa al-Muta’allim.
Ibnu Jamâ’ah, Tadzkirah al-Sâmi’ wa al-Mutakkalim fî Adab al-‘Ilm wa al-Muta’allim